Sejarah Korupsi di Indonesia Dimulai dari Era Majapahit
Navigasi Info - Akar sejarah korupsi di Nusantara dapat ditelusuri hingga masa kejayaan kerajaan. Menurut catatan sejarah, praktik korupsi telah menjadi fenomena yang berlangsung sejak berabad-abad yang lalu. Pada abad ke-13, di Nusantara, korupsi mulai tercatat terutama melalui sistem pembiayaan tradisional yang diterapkan oleh Kerajaan Majapahit dan kerajaan-kerajaan lainnya di wilayah ini.
Sejarah Korupsi di Indonesia Dimulai dari Era Majapahit |
Dalam konteks ini, pejabat yang menduduki jabatan tertentu mulai mencari keuntungan yang lebih besar. Sejarawan Ong Hok Ham menjelaskan bahwa praktik korupsi ini berlanjut karena pejabat-pejabat dalam kerajaan tradisional ini tidak menerima gaji dari Raja. Sebagai gantinya, mereka diberikan tanah dan sejumlah petani atau hak untuk mengumpulkan pajak. Dalam menghadapi kebutuhan finansial, para pejabat ini kemudian mengembangkan cara kreatif dengan meminta denda dan upeti dari rakyat. Sumber pendapatan ini digunakan untuk membiayai aktivitas jabatan mereka.
Tidak hanya satu atau dua jabatan saja yang mencari sumber pendapatan sendiri. Menurut Ong Hok Ham, berbagai jabatan seperti menteri di keraton, bupati, pengawas pengairan, jagal, pencatat penduduk, penarik pajak, kepala desa, dan sebagainya, memiliki kemandirian dalam pengaturan keuangan mereka.
Bahkan Raja sendiri terlibat dalam sistem ini. Sebagai contoh, Raja menerima sebagian upeti dari rakyat yang diberikan oleh pejabat lokal. Namun, jumlah yang diterima oleh Raja relatif kecil dibandingkan dengan jumlah upeti yang masuk ke kantong pribadi para pejabat.
Ong Hok Ham menjelaskan bahwa ketika Raja memberikan wewenang kepada pejabat bumiputra, yaitu sekelompok petani yang terdiri dari empat orang, mereka diberikan sebidang tanah dengan sebagian hasil panen tanah tersebut diserahkan kepada pejabat. Selain itu, pejabat juga memiliki hak untuk memanfaatkan tenaga petani tersebut dalam pembangunan rumah, irigasi, jalan, jembatan, perkebunan, dan lain sebagainya.
Setiap individu yang ingin mengurus izin atau memanfaatkan tanah tersebut harus berurusan dengan pejabat bumiputra. Tidak jarang, dalam memperlancar proses tersebut, individu tersebut harus memberikan suap atau upeti kepada pejabat. Hal ini menjadikan posisi sebagai pejabat bumiputra, seperti bupati, demang, hingga bekel, menjadi incaran bagi banyak orang.
Menurut Ong Hok Ham, dalam sejarah terdapat contoh di mana bawahan mampu mengadakan jamuan yang lebih mewah bagi Raja daripada jamuan yang disediakan oleh Raja untuk tamu-tamunya. Selain itu, penarik pajak dapat merendahkan abdi dalem keraton yang memiliki kedudukan tertinggi, termasuk para menteri dan pangeran, karena pendapatan penarik pajak jauh lebih tinggi daripada pendapatan mereka. Akibatnya, mereka semua berhutang pada penarik pajak.
Pada masa penjajahan kolonial, praktik korupsi semakin merebak, terutama saat diperkenalkannya sistem tanam paksa (cultuur stelsel) pada tahun 1830. Kebijakan ini mengharuskan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor seperti kopi, tebu, dan teh. Kebijakan ini menjadi ladang subur bagi praktik pungutan liar dan korupsi yang mencapai tingkat puncaknya dalam sejarah Nusantara.
Dapat dikatakan bahwa masa Cultuur Stelsel merupakan masa di mana praktik korupsi dan pungutan liar berlangsung secara luas. Di satu sisi, pungutan tersebut mengalir ke kas negara Belanda dan memperkaya para bupati. Namun, rakyat jelata semakin menderita dan mengalami kemiskinan. Menariknya, pada saat itu, rakyat tetap diam dan tidak melaporkan penderitaan mereka untuk meminta bantuan. Semuanya berjalan dengan patuh terhadap kebijakan yang ada.
Para bupati, yang seharusnya menjaga kesejahteraan rakyat, justru mengeksploitasi mereka. Mereka bersaing dalam memeras rakyat demi mendapatkan pujian sebagai bupati yang baik dan menerima penghargaan dari penjajah, sambil terus melanjutkan praktik pungutan liar dan korupsi.
Demikianlah gambaran pahit dalam sejarah ini, sebagaimana yang diungkapkan oleh Multatuli atau Eduard Douwes Dekker dalam novel legendarisnya.
PRAKTIK KORUPSI PADA ERA KOLONIAL
Praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang semakin menggila ketika sistem tanam paksa, yang dikenal sebagai cultuur stelsel, diperkenalkan oleh Johannes van den Bosch, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pada tahun 1830. Kebijakan ini mengharuskan setiap desa untuk mengalokasikan sebagian tanahnya untuk menanam komoditas ekspor seperti kopi, tebu, dan teh. Namun, ironisnya, kebijakan ini malah menjadi lahan subur bagi praktik pungutan liar dan korupsi yang mencatat sejarah kelam di Nusantara.
Masa cultuur stelsel dapat digambarkan sebagai masa "aksi korupsi dan pungutan liar" yang paling memuncak. Di satu sisi, kebijakan ini mengalirkan jumlah uang yang sangat besar ke kas Negara Belanda dan memperkaya para bupati. Namun, di sisi lain, rakyat jelata semakin merana dan terlunta-lunta. Yang menarik, pada masa tersebut, rakyat tetap berdiam diri dan enggan mengungkapkan penderitaan mereka untuk meminta bantuan. Semua praktik ini berlangsung dengan kepatuhan yang memprihatinkan, sebagaimana diungkapkan oleh Soegeng Reksodihardjo dalam buku Dr. Cipto Mangunkusumo (2012).
Selain itu, para bupati sendiri terlihat memilih menutup mata terhadap penderitaan dan kesengsaraan rakyat. Mereka malah saling berlomba untuk mengeksploitasi rakyat demi mendapatkan pujian sebagai bupati yang baik dan memperoleh penghargaan dari penjajah, sambil terus melanjutkan praktik pungutan liar dan korupsi.
Seperti yang diungkapkan oleh Multatuli atau Eduard Douwer Dekker dalam novel legendarisnya Max Havelaar (1860), kolaborasi antara pejabat pribumi dan pejabat kolonial Belanda begitu kuat dan kejam. Novel ini membuka mata akan kejadian tersebut.
Menurut pengakuan seorang komisioner VOC, Dirk van Hogendorp (1761-1822), ia sendiri melihat banyaknya pungutan yang dilakukan oleh pejabat VOC, seperti denda atas kelebihan berat barang milik orang Arab, Cina, dan Jawa, keuntungan dari penjualan opium, hadiah-hadiah, dan lain sebagainya.
Dirk juga menjelaskan berbagai jenis hadiah (gratifikasi) yang diberikan oleh pejabat pribumi, termasuk bupati. Hadiah-hadiah ini diberikan saat penunjukkan pejabat baru, pada tahun baru, untuk istri pejabat yang melahirkan, pungutan setiap kali akan menghadap Gubernur di Semarang, setiap menghadap Gubernur Jenderal di Hindia-Belanda, setiap kali menghadiri penobatan bupati pribumi yang baru terpilih, dan sebagainya. Semua ini diungkapkan oleh Dirk dan dikutip oleh Sri Margana dalam buku Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia (2016).
GAYA HIDUP PEJABAT BUMIPUTRA: WARISAN BUDAYA DAN FENOMENA KORUPSI
Korupsi yang melanda para pejabat bumiputra membawa akar dari praktik jual beli jabatan yang telah berlangsung lama. Dalam konteks Nusantara, fenomena korupsi ini sering kali dikaitkan dengan bukti-bukti dari kebiasaan kuno dalam masyarakat Jawa. Penjualan jabatan oleh pejabat bumiputra seringkali dikaitkan dengan permintaan upeti atau pemberian kepada para penguasa. Inilah yang menjadi sumber terjadinya tindakan penyuapan.
Tidak hanya itu, pejabat bumiputra juga terbiasa memeras rakyat untuk mempertahankan gaya hidup mewah mereka.
Dalam kebudayaan tradisional Jawa, loyalitas terhadap keluarga dianggap lebih penting daripada loyalitas terhadap negara. Oleh karena itu, kewajiban para pegawai publik di kantor dianggap sebagai kewajiban kedua setelah kewajiban terhadap keluarga dan komunitas. Setiap kesempatan untuk memperoleh keuntungan ekonomi atau pekerjaan bagi keluarga dianggap sah dalam budaya tersebut. Pemahaman ini tercermin dalam karya "Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia" (2016) karya Sri Margana.
Dalam era Tanam Paksa, seperti yang diperinci dalam buku "Dr. Cipto Mangunkusumo" (2012) karya Soegeng Reksodihardjo, Bupati tidak hanya menerima subsidi keuangan dari Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, tetapi juga mendapatkan bagian dari hasil tanah yang ditanami paksa. Mereka juga memiliki hak-hak tertentu, termasuk tenaga bakti yang disediakan sekitar 200 orang setiap tahun, serta upeti dan hak-hak adat lainnya.
Akibatnya, perilaku pungli, korupsi, dan gaya hidup mewah membuat Bupati memiliki kebutuhan yang jauh melebihi kebutuhan hidup Residen Belanda dan keluarga inti mereka, termasuk anak-anak dan istri. Hal ini dikarenakan Bupati memiliki keluarga yang besar, termasuk famili dan anak-anak. Tidak jarang Bupati memiliki lebih dari satu istri. Mereka harus memberi nafkah dan pekerjaan kepada seluruh anggota keluarga yang besar ini.
Selain itu, para Bupati juga harus mengeluarkan dana untuk acara pesta, selamatan, dan keperluan rumah tangga. Sebagai contoh, seorang Bupati Bumiputra membutuhkan sekitar 2 ribu pikul beras setiap tahun, sementara Pejabat Belanda hanya membutuhkan 25 pikul.
Tradisi kesetiaan terhadap keluarga dalam budaya masyarakat Jawa merupakan salah satu etika kebangsawanan yang menjadi pendorong kuat. Kewajiban pegawai publik terhadap kantor dianggap sebagai kewajiban kedua setelah kewajiban terhadap keluarga dan komunitas. Pola loyalitas semacam ini secara jelas telah menjadi penyebab dan penguatan perilaku korupsi, seperti yang disampaikan oleh Erlina Wiyanarti dalam jurnal berjudul "Korupsi Pada Masa VOC dalam Multiperspektif".
Demikianlah gambaran tentang gaya hidup pejabat bumiputra yang dipengaruhi oleh warisan budaya dan fenomena korupsi dalam konteks sejarah.
Sumber :
Posting Komentar untuk "Sejarah Korupsi di Indonesia Dimulai dari Era Majapahit"