LEGASI LIMA ORANG PUTERA MELAYU BUGIS BERSAUDARA ( The Legacy of The Five Famous Buginese Malays Royal Siblings )
Navigasi Info - Saya mendapat referensi dari the Patriot , Kita tentu tahu sejarah The Rothschilds Brothers dimana kelima putra Mayer Amschel Rothschild, seorang taipan bank Jerman keturunan Yahudi dimana masing-masing ditugaskan untuk memperluas kerajaan perbankan keluarga mereka di beberapa bagian benua Eropa seperti di Frankfurt, Wina, London, Napoli dan Paris, hingga akhirnya keluarga Rothschild menjadi salah satu keluarga Yahudi paling berpengaruh dan kontroversial dalam sejarah dunia hingga saat ini.
LEGASI LIMA ORANG PUTERA MELAYU BUGIS BERSAUDARA ( The Legacy of The Five Famous Buginese Malays Royal Siblings ) |
Tidak dapat disangkal pengaruh dan kekuasaan keluarga Rothschild begitu besar sehingga dikatakan bahwa banyak peristiwa penting dalam sejarah dunia seperti Revolusi Perancis, perang dunia dan berdirinya negara Yahudi di Timur Tengah konon adalah akibatnya. keluarga berencana dan berencana ini.
Namun jauh sebelum lahirnya Mayer Amschel Rothschild yang merupakan ayah dari "Lima Bersaudara Rothschild" pada tahun 1744, dunia Melayu telah lama menyaksikan kemunculan dan pengaruh "Lima Bersaudara" dari tanah Bugis di Sulawesi.
Jika sejarah Eropa memiliki Rothschild Five Brothers yang berpengaruh di kancah perbankan, sedangkan sejarah dunia Melayu memiliki “Five Prince Bugis Brothers” yang lebih berpengaruh di kancah sosial politik. Pengaruh dan warisan politik mereka membuat mereka dan keturunan mereka menjadi kekuatan yang berpengaruh secara de facto di dunia Melayu sekitar abad ke-18 hingga ke-20.
Kelima bersaudara yang pernah mengguncang kancah sosial-politik dunia Melayu sekitar tiga abad yang lalu ini adalah putra Opu Tendriburang Daeng Rilaga, putra Raja La Maddusalat, yang konon merupakan raja Bugis pertama yang memeluk Islam menurut buku Tuhfat al-Nafis dan Salasilah Melayu dan Bugis wallahualam bissawab (keduanya karya Raja Ali Haji). Menurut silsilah yang terdapat pada kedua kitab tersebut, Daeng Rilaka memiliki seorang kakak laki-laki bernama Opu Daeng Talana yang kemudian menjadi raja negara Luwuk di tanah Bugis dengan gelar Pajung Ri Luwuk dan ia juga memiliki seorang adik laki-laki bernama Opu Daeng Biyasa yang menjadi pemimpin orang Bugis sekaligus orang kuat Belanda (Mayor) di pulau Jawa.
Menurut Tuhfat al Nafis, perjalanan Opu Daeng Rilaga dan anak-anaknya dimulai dari To Pammana ke Boneh (Bone) di Sulawesi hingga pulau Jawa untuk bertemu dengan saudaranya, Opu Daeng Biyasa yang telah mencapai posisi tinggi dalam pemerintahan Belanda di sana. , berlayar lagi ke pulau Siantan (salah satu pulau di Kepulauan Natuna di tengah Laut Cina Selatan) ke negara-negara Melayu di Semenanjung Malaya hingga akhirnya tiba di negara bagian Kamboja (baik merujuk ke Kampuchea atau mungkin tetangganya negeri Champa) dan disana, Opu Daeng Rilaga berhasil memenangkan pertandingan sabung ayam dengan seorang putra raja Minangkabau yang bernama Raja Culan dan mendapat hadiah sebuah kapal kecil (semacam kapal besar) kemudian berlayar kembali ke Siantan. Keci juga dipotong (dipatahkan) dan dari kayu itu dibuat enam penyerbu perang.
Ditakdirkan oleh Tuhan, Opu Daeng Rilaga meninggal dalam perjalanan kembali dari Kamboja, meninggalkan kelima putranya di Pulau Siantan, yang semuanya telah mencapai pubertas. Sebelumnya, mereka telah dihadapkan pada tantangan dan pengalaman merantau yang membuat kelima bersaudara ini semakin berani, tangguh, berkemauan keras dan gigih dalam memperjuangkan nasibnya di tanah rakyat.
Ketekunan dan keberanian mereka, ditambah dengan ikatan keluarga yang sangat kuat di antara mereka seperti air yang dicincang tidak akan putus dan bukan hanya ikatan biasa, menjadikan mereka salah satu legenda yang paling dikenang dan dihormati dalam sejarah dunia Melayu.
Disini penulis secara singkat menceritakan kisah hidup dan perjuangan kakak beradik secara berurutan dari anak sulung hingga anak bungsu.
1. OPU DAENG PARANI
Dipercayakan untuk menjadi pemimpin saudara-saudaranya yang lain setelah kematian ayahnya sebagai anak tertua dari lima bersaudara, Opu Daeng Parani ibni Opu Daeng Rilaga telah menunjukkan kepahlawanan dan keberaniannya sejak berada di tanah Bugis lagi.
Setelah ayahnya tidak ada, ia bertindak untuk mengatur angkatan laut di Pulau Siantan yang terdiri dari enam penjelajah perang yang dilengkapi dengan meriam dan dapat menampung empat puluh tentara. Armada Bugis kemudian berlayar ke selatan Semenanjung Malaya atau lebih tepatnya ke pemerintahan Johor yang saat itu dalam keadaan kacau balau akibat perebutan takhta.
Wafatnya Sultan Mahmud Wafat pada 3 September 1699 tanpa pewaris dekat menyebabkan gubernur Johor mengangkat Bendahara Tun Abdul Jalil sebagai sultan Johor, dengan gelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV (1699 - 1718).
Namun kekuasaan Sultan dari keturunan Bendahara ditentang oleh Raja Kechil yang mengaku sebagai pangeran Sultan Mahmud Mangkat Dijulang dan mendapat dukungan dari masyarakat Minangkabau Pasisir Laut. Dengan mudah, Raja Kechil berhasil merebut tahta Johor dan mengangkat dirinya sebagai Sultan Johor dengan gelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723-1746).
Menurut Tuhfat al Nafis, ketika Opu Daeng Parani dan adik beradiknya tiba di Johor, mereka mendapati bahawa negeri itu telahpun dikalahkan oleh Raja Kechil lalu bertanya dengan hairan "Bagaimana negeri sebesar ini dengan mudah sajanya alah?"
Sultan Abdul Jalil IV diturunkan takhta dan hendak dilantik sebagai Bendahara semula oleh raja baru tersebut. Namun segala apa yang berlaku menimbulkan rasa tidak puas hati keluarga Bendahara terutamanya sekali kepada anak lelakinya, Tengku Sulaiman dan kakaknya, Tengku Tengah yang sebelum itu bertunang dengan Raja Kechil namun pertunangan terputus apabila Raja Kechil jatuh hati dan berkahwin dengan adinda Tengku Tengah sendiri iatu Tengku Kamariah. Maka Tengku Sulaiman dan Tengku Tengah mengambil keputusan untuk meminta pertolongan dari lima Opu Daeng bersaudara tersebut bagi menghilangkan "arang yang terconteng di muka mereka".
Sebagai jaminannya, Tengku Tengah dikahwinkan dengan Opu Daeng Parani dan Tengku Sulaiman berjanji akan melantik salah seorang dari lima adik beradik Bugis tersebut sebagai Yang Dipertuan Muda setelah berjaya mengusir Raja Kechil dan mengembalikan keturunan Bendahara semula di atas takhta Johor. Perjanjian di antara keturunan Bendahara dengan adik beradik Bugis tersebut direstui oleh Sultan Abdul Jalil Riayat Shah IV sendiri.
Raja Kechil mengambil kesempatan untuk menindak mantan sultan dari keturunan Bendahara ketika saudara Opu-Opu Daeng Lima tidak berada di negara bagian Johor untuk menyelesaikan masalah mereka yang terjadi di Pulau Siantan dan Matan. Selanjutnya, banyak orang di Johor mulai difitnah bahwa Raja Kechil diduga bukan dari garis keturunan asli kerajaan dan mendukung garis keturunan Bendahara hingga Tengku Tengah bertindak untuk membawa adiknya, Tengku Kamariah pergi dari istana Raja Kechil.
Puncak dari semua polemik tersebut adalah ketika Raja Kechil dan pasukannya beraksi mengejar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV hingga akhirnya mantan sultan dari garis keturunan Bendahara itu tewas dibunuh pada tahun 1720 M oleh para panglima Raja Kechil usai menunaikan shalat wajib Subuh di Kuala. Pahang lalu dikubur disana.
Sepeninggal Sultan Abdul Jalil IV, Raja Kechil bertindak untuk membawa semua ahli waris almarhum kembali ke Riau, termasuk mengambil kembali istrinya, Tengku Kamariah yang diculik oleh saudara perempuannya sebelumnya. Tragedi tersebut meninggalkan kesan mendalam bagi para ahli waris almarhum, terutama pada Tengku Sulaiman yang memendam dendam terhadap Raja Kechil dan akhirnya meminta Opu-Opu Daeng Lima Bersaudara untuk kembali ke Johor.
Singkat cerita, pasukan Bugis yang dipimpin oleh Opu Daeng Marewah dengan segala perlengkapan tujuh penjajah perang dan perahunya berlayar ke Riau untuk berperang melawan Raja Kechil. Perang pecah selama dua hari pada tahun 1721 M (setara dengan 1134 H) dan tentara Bugis memenangkan pertempuran.
Opu Daeng Parani kemudian menemani saudara-saudaranya, Opu Daeng Marewah dan Opu Daeng Chelak untuk melengkapi semua perlengkapan tiga puluh kapal ghurab besar di Selangor dan mendapatkan dukungan dan kesetiaan dari banyak pedagang Bugis yang menetap di Selangor, Langat dan Linggi saat itu. Saat itu mereka bersama-sama menyerang dan melenyapkan kekuasaan Raja Kechil yang berkedudukan di Linggi (sekarang berada di provinsi Negeri Sembilan) saat itu, sehingga Raja Kechil sendiri harus mundur ke Siak meninggalkan provinsi Linggi untuk disingkirkan. ditaklukkan oleh lawan-lawannya di kalangan pangeran Bugis. Pulau Riau akhirnya ditaklukkan oleh tentara Bugis dan Tengku Sulaiman siap diangkat sebagai sultan. Namun, penobatan sultan baru harus membutuhkan alat kebesaran kerajaan tetapi semua alat kebesaran kerajaan saat itu ada di tangan Raja Kechil yang sekarang berada di Siak.
Tengku Sulaiman meminta opu-opu Bugis untuk mengambil kembali alat keagungan kerajaan dari tangan Raja Kechil dan pada saat itu dibuat kesepakatan antara Tengku Sulaiman, mewakili bangsawan Melayu dan Opu Daeng Parani, mewakili bangsawan Bugis seperti yang tercatat dalam Tuhfat al Nafis dan diamati oleh kedua belah pihak di Kerajaan Lingga Johor Riau zaman; “Syahadan juga berkata kepada Opu Daeng Parani,” Adapun keberhasilan pekerjaan saya, semua ini sekali lagi akan melanggar Siak, maka pihak Raja Sulaiman akan menjadi Yamtuan Besar untuk keturunannya dan pihak saya semua akan menjadi Yamtuan Muda untuk keturunannya juga. , tidak ada yang lain .
Jadi saya hanya bisa memilih lima bersaudara ini, apa pun yang orang suka, maka dialah yang Yamtuan Muda, tidak boleh ada apa-apa. Dan lagi pula Yamtuan Besar itu seperti perempuan saja, kalau diberi makanan baru dia akan memakannya. Dan Yamtuan Muda menjadi seperti laki-laki, dan jika ada satu hal atau apa pun, bicaralah selain apa yang dikatakan Yamtuan Muda. Syahadat semua perjanjian kita, apapun yang disebutkan, tidak dapat diubah lagi, sehingga kita semua dapat menerapkannya kepada keturunan dan cucu kita untuk tetap selamanya”. Maka Raja Sulaiman menjawab, "Baiklah."
Singkat cerita, pada akhirnya kelima bersaudara itu berhasil merebut alat-alat kebesaran kerajaan Johor dari Raja Kechil di Siak. Tengku Sulaiman kemudian dilantik sebagai Sultan Johor pada tahun 1722 sedangkan Opu Daeng Marewah diproklamasikan sebagai Yang Dipertuan Muda pertama dari Riau. Melalui kesepakatan yang dibuat antara kedua belah pihak, kedudukan Sultan hanya untuk keturunan kerajaan Melayu sedangkan Yang Dipertuan Muda adalah hak eksklusif bagi keturunan Bugis saja.
Ketika Opu Daeng Parani berada di Selangor, sebuah surat dikirimkan kepadanya dari Sultan Muhammad Jiwa Zainal Adzilin Muadzam Shah II (1710 -1778 M), sultan Kedah di mana tahtanya direbut oleh adiknya, Raja Nambang. Opu Daeng Parani setelah berdiskusi dan bermusyawarah dengan saudara-saudaranya dan mendapatkan izin dari Sultan Sulaiman, akhirnya pindah ke Kedah ditemani oleh saudara-saudaranya. Sultan Muhammad Jiwa II dan orang Bugis memenangkan pertempuran melawan Raja Nambang pada tahun 1723 dan dalam perang saudara pertama ini,
Opu Daeng Parani menikah dengan Tunku Aishah, saudara kandung Sultan Muhammad Jiwa II sendiri.
Namun pada tahun 1724 M kembali terjadi perang saudara antara Sultan Muhammad Jiwa II dengan Raja Nambang di Kedah, namun pada perang kedua ini Raja Nambang meminta bantuan Raja Kechil dari Siak sedangkan Sultan meminta bantuan kelima bersaudara Bugis tersebut. Pertempuran kali ini sangat sengit dimana pada siang hari benteng Raja Kechil berhasil direbut oleh Opu Daeng Parani hingga Raja Kechil sendiri melompat ke parit yang ada di sebelah benteng tersebut kemudian pada malam hari Raja Kechil beserta pasukannya berhasil merebut benteng tersebut.
Orang Bugis menggunakan kapal ghurab untuk menyerang posisi Raja Kechil, sehingga menurut Tuhfat al Nafis, pada saat pengepungan, Opu Daeng Parani berada di beranda kapal ghurab dan memerintahkan pasukannya untuk menembaki benteng Raja Kechil dengan meriam. Maka pada saat itu dengan takdir Tuhan, musuh dengan meriamnya berhasil menembak Opu Daeng Parani dan bola meriam itu mengenai dadanya. Opu Daeng Parani tewas akibat tembakan meriam tersebut. Jenazah Opu Daeng Parani akhirnya dimakamkan di Kampung Ekor Lubuk, Sidam Kiri, Sungai Petani di Kedah Darul Aman.
Keturunan Opu Daeng Parani memegang peran politik utama di Kerajaan Johor Riau Lingga setelah ketidakhadirannya. Putra sulungnya, Opu Daeng dari Kamboja (1745 -1777) menjadi Yang Dipertuan Muda ketiga dari Riau setelah kematian Opu Daeng Chelak. Kemudian, Raja Ali bin Daeng dari Kamboja bin Daeng Parani (1784 – 1806) menjadi Yang Dipertuan Muda kelima dari Riau setelah Raja Haji Fisabilillah syahid saat berperang melawan Belanda di Melaka pada tahun 1784.
Sementara putra sulungnya memegang karir politik penting di Kerajaan Johor, putri sulung Opu Daeng Parani, Daeng Khadijah, menjadi istri Raja Alam, putra Raja Kechil dari Siak dan kemudian memiliki seorang putra bernama Tengku Badariah (ya, Raja Kechil dan Opu Daeng Parani ini sebenarnya berbesan). Tengku Badariah kemudian menikah dengan Sayyid Usman bin Sayyid Shahab al-Ba 'Alawi dan memiliki seorang putra bernama Sayyid Ali.
Sayyid Ali menjadi sultan keenam Kesultanan Siak Seri Inderapura setelah pendahulunya, Sultan Yahya akhirnya wafat di Terengganu (makamnya masih ada di Kampung Che Lijah, Dungun). Berawal dari Sayyid Ali, kesultanan Siak selanjutnya diperintah oleh keturunan Arab Quraisy (yang berdarah Bugis melalui Daeng Khadijah binti Opu Daeng Parani) dan tidak lagi diperintah oleh keturunan Raja Kechil.
2. OPU DAENG MENAMBUN
Daeng Menambun ibni Daeng Rilaga lebih berpengaruh dalam kancah sejarah Kalimantan bersama adik bungsunya, Opu Daeng Kemasi. Pangeran kedua dari lima bersaudara itu mulai mencuat di garis depan sejarah setelah perang saudara di Kesultanan Matan, antara Sultan Muhammad Zainuddin (1665 – 1724 M) dan saudaranya, Pangeran Agung yang berhasil merebut tahta dari kekuasaannya. saudara laki-laki.
Sultan Muhammad Zainuddin dan keluarganya terus mengungsi ke Kesultanan Banjarmasin dan meminta sultan Banjar saat itu, Sultan Tahmidullah I (1700 – 1717 M) untuk menyerang Pangeran Besar di Matan, selain mengirim surat kepada Opu-Opu Daeng Lima bersaudara. Meskipun sultan Banjar mengirim pasukan besar yang terdiri dari orang Banjarmasin, orang Kota Ringin dan orang Sempat Mendawi untuk menyerang Matan, namun serangan itu gagal dan tentara mundur ketika komandan mereka, Panglima Pantas terbunuh.
Sultan Muhammad Zainuddin menolak menyerah dan malah mengurung diri di masjid. Masjid tersebut kemudian dikepung dan dijaga oleh para abdi dalem Pangeran Besar keturunan Bugis yaitu Daeng Matekkoh dan Haji Hafiz serta bala tentara kerajaan Matan.
Konon Sultan Muhammad Zainuddin patah semangat dan sedih dengan tindakan para petinggi dan tentara pemerintah Matan yang terus mengepungnya di masjid selama berhari-hari, mengatakan; “Kalian semua adalah saudaraku, penjabat menteriku, sampai membuatku seperti ini” sehingga mereka semua menangis dan memberi sultan makanan dan minuman meskipun mereka semua dilarang melakukannya oleh Pangeran Agung. Dia terus dikepung di masjid selama lima bulan dan dikatakan bahwa kondisinya bukan semakin kurus tetapi tubuhnya semakin gemuk.
Setelah Opu Daeng Menambun dan saudara-saudaranya tiba di Matan setelah berlayar dari Johor, mereka membebaskan Sultan Muhammad Zainuddin dari kepungan dan membawanya menemui Pangeran Agung.
Pangeran Agung sangat marah karena Opu-Opu Daeng Lima tetap melepaskan saudaranya meskipun tidak diizinkan, maka dia mengusir saudaranya dan saudara-saudara Bugisnya keluar dari Matan. Mereka semua pergi ke Banjarmasin untuk meminta izin untuk membawa kembali keluarga Sultan Muhammad Zainuddin yang berada di bawah asuhan sultan Banjar kemudian mereka semua pergi ke Kuala Kandang Kerbau dan menetap di sana.
Konon saat mereka semua sampai di Kuala Kandang Kerbau, Opu Daeng Menambun tiba-tiba jatuh cinta pada pandangan pertama saat melihat kecantikan dan kecantikan putri sulung Sultan Muhammad Zainuddin, Puteri Kesumba. Dia tidak berani mengungkapkan perasaannya karena dia malu dengan ayah sang putri, jadi "duduk dan pegang hatinya dan berharap untuk takdirnya dan pertemuan dari Allah Taala yang dia tunggu".
Pucuk dicita ulam mendatang apabila Sultan Muhammad Zainuddin sendiri meminta kepada Opu-Opu Daeng Lima Bersaudara tersebut supaya meminta salah seorang di kalangan mereka untuk dikahwinkan dengan salah seorang puteri baginda. Opu Daeng Menambun tiba-tiba menawarkan dirinya untuk dijodohkan dengan Puteri Kesumba. Opu Daeng Menambun akhirnya dikahwinkan dengan Puteri Kesumba dalam satu acara yang sederhana di Kuala Kandang Kerbau.
Tujuh hari selepas perkahwinan tersebut, maka Opu Daeng Menambun dan adik beradiknya yang lain ditugaskan untuk menyerang Pangeran Agung di Matan. Daeng Matekkoh dan Haji Hafiz ditugaskan oleh Pangeran Agung untuk menghalang kedatangan opu-opu putera Bugis tersebut tetapi kemudiannya Daeng Matekkoh berlayar menuju ke Siak kerana tidak mahu menentang putera-putera raja Bugis tersebut. Daeng Matekkoh kemudiannya berpihak kepada Raja Kechil dalam menentang opu-opu Bugis ini nanti.
Ketiadaan pahlawan Bugis tersebut memudahkan mereka menangkap Pangeran Agung lalu atas perintah Sultan Muhammad Zainuddin, kemudiannya dikurung dalam sebuah kubu kecil bersama tiga puluh orang wanita yang dikawal ketat sehingga kematiannya. Opu-Opu Daeng Lima bersaudara tersebut kemudiannya pulang ke Johor dan terlibat dalam pertempuran menentang Raja Kechil selepas itu, yang diceritakan seperti di atas tadi. Opu Daeng Menambun pula kemudiannya terlibat bersama sama adik beradiknya dalam perang saudara Kedah antara Sultan Muhammad Jiwa II dengan adinda baginda, Raja Nambang.
Selepas perang selesai,beliau serta adik bongsunya,Opu Daeng Kemasi bermohon hendak kembali semula ke bumi Kalimantan. Mereka adik beradik sempat bersumpah sebelum berpisah mengikut haluan masing-masing berteguh janji supaya ;
"Maka siapa-siapa jua kita ini yang mendapat akan kesusahan,melainkan tiada boleh tiada kita semua tolong-menolong adanya"
Selepas tiba di Matan, beliau dianugerahkan gelaran Pangeran Emas Surya Negara oleh Sultan Muhammad Zainuddin manakala isterinya, Puteri Kesumba diberi gelaran Ratu Agung Sinuhun. Seterusnya, Opu Daeng Menambun dilantik sebagai Raja Mempawah pada tahun 1737 Masihi kerana isterinya, Puteri Kesumba adalah puteri kepada Sultan Muhammad Zainuddin dan Utin Indrawati. Utin Indrawati pula ialah satu-satunya anak tunggal kepada Panembahan Senggaok dan Puteri Cermin, pemerintah asal Kerajaan Mempawah dari keturunan Dayak. Kemangkatan Panembahan Senggaok menjadikan Puteri Kesumba sebagai waris mutlak kerajaan Mempawah,d an Opu Daeng Menambun sebagai suami kepada Puteri Kesumba dilantik sebagai Raja Mempawah.
Kedua-dua mereka mendirikan ibu negeri di Sebukit Rama dan menjadikan Mempawah sebuah kesultanan Islam yang aman makmur di bumi Kalimantan serta melaksanakan hukum Islam ketika itu. Pada masa pemerintahan Opu Daeng Menambun di Mempawah, dua orang ulama terkenal iatu Sayyid Hussein Habib al Qadry dan Syeikh Ali bin Fakih al Fatani datang menabur bakti di Mempawah untuk berdakwah serta menjadi mufti kerajaan dan penasihat utama baginda dalam melaksanakan pemerintahan berlunaskan hukum Islam.
Opu Daeng Menambun terlibat dalam Perang Pinang Sekayuk tahun 1728 M (tahun 1141 Hijri) yang meletus akibat fitnah seorang Dayak terhadap seorang pengikut Gusti Jamiril, putera Opu Daeng Menambun dalam masalah hutang piutang barang-barang dagangan milik Gusti Jamiril yang dibawa dari Betawi (Batavia,kini dikenali dengan nama Jakarta). Baginda dan tentera Mempawah menentang tentera Pangeran Dipati,saudara kepada Panembahan Senggaok serta anaknya,Raden Jaga.
Dalam perang ini, baginda turut mendapat bantuan dari adik-adiknya yang mematuhi sumpah janji yang dibuat oleh mereka dahulu seperti Opu Daeng Kemasi yang tiba dari Sambas dan juga Opu Daeng Chelak, yang baru sahaja dilantik sebagai Yamtuan Muda Riau kedua dan mereka juga turut dibantu oleh raja kerajaan Landak, iatu Ratu Bagus. Pakatan ketenteraan Mempawah-Sambas-Riau-Landak berjaya memenangi pertempuran itu. Opu Daeng Menambun mendapat janji kesetiaan kepada pemerintahannya ke atas Mempawah oleh puak-puak Dayak selepas perang tersebut.
Perkahwinan antara Opu Daeng Menambun dan Puteri Kesumba dikurniakan sepuluh orang anak, di mana lima orang lelaki dan lima orang perempuan. Melalui zuriat baginda yang ramai ini, baginda sebagai pemerintah Mempawah berketurunan Bugis dapat menjalinkan hubungan kekeluargaan yang besar dan luas dengan kerajaan-kerajaan Borneo yang wujud ketika itu seperti kerajaan Brunei, Landak, Pontianak dan Sambas.
Opu Daeng Menambun akhirnya mangkat pada 26 Safar 1174 Hijri/7 Oktober 1760 Masihi (riwayat lain mengatakan baginda mangkat tahun 1166 H/1752 M). Tempat baginda sebagai pemerintah negeri Mempawah digantikan oleh putera sulungnya, Gusti Jamiril yang memakai gelaran Panembahan Adi Wijaya Kesuma.
Keturunan Opu Daeng Menambun terus-menerus menjadi pemerintah Kesultanan Mempawah sehingga ke zaman penjajahan Jepun dan akhirnya diserap masuk wilayahnya serta kedaulatannya ke dalam Republik Indonesia sehingga kini.
3. OPU DAENG MAREWAH
Opu-Opu Daeng Lima bersaudara sedang berada di Matan menyelesaikan hal yang berlaku di sana seperti yang diceritakan sebelum ini. Ketika itulah satu surat dari Johor datang kepada mereka diutus daripada Tengku Sulaiman yang ketika itu ingin menghapuskan Raja Kechil yang membunuh ayahandanya, Sultan Abdul Jalil IV di Kuala Pahang.
Selepas menerima surat tersebut,adik beradik tersebut berasa sangat marah membaca surat tersebut lalu berbangkitlah semuanya menghunus kerisnya, mengaruk aruk, berkanjar kanjar (satu adat Bugis yang membuat sumpah setia dengan sebilah keris yang tajam). Dalam ketika itu,anak ketiga daripada lima beradik ini yang bernama Opu Daeng Marewah berkata ;
“Jika belum aku ambil Riau dengan segala takluk daerahnya aku serahkan kepada Raja Sulaiman, aku haramkan menjejak tanah Bugis atau aku mati”.
Jika dirujuk di dalam Tuhfat al Nafis dan sejarah hidup lima beradik ini, mungkin kita boleh membuat kesimpulan bahawa Opu Daeng Marewah lebih tampak menonjol sebagai ahli strategi perang berbanding adik beradiknya yang lain. Opu Daeng Marewah juga turut masyhur dengan gelaran "Kelana Jaya Putera" yang dikatakan didapatinya setelah membantu Belanda melanggar negeri Pariaman di Sumatera Barat.
Opu Daeng Parani segera mempersiapkan angkatan tentera serta armada laut yang ditugaskan untuk menyerang Raja Kechil di pulau Riau. Opu Daeng Parani sebagai abang tua melantik Opu Daeng Marewah sebagai kepala perang (komander pusat) tentera tersebut manakala Opu Daeng Chelak pula menjadi Panglima Besar. Adik beradiknya yang lain seperti Opu Daeng Menambun dan Opu Daeng Kemasi dilantik sebagai Panglima Perang Kanan dan Panglima Perang Kiri.
Beberapa orang bangsawan Bugis seperti Daeng Mangngatuk menjadi hulubalang tua, Daeng Massuro dan Daeng Menampuk pula menjadi kepala indera guru. Adalah diceritakan kelengkapan tentera Bugis yang datang melanggar Riau seperti tercatat dalam Tuhfat al Nafis ;
"Syahadan apabila sudah teguhlah ikatan perangnya berangkatlah ia belayar ke Riau. Adalah kelengkapannya yang pergi yang besarnya tujuh buah, satu keci ditutuhnya diperbuatnya penjajab dan beberapa perahu perahu Bugis, seperti pintak dan kura kura, dan beberapa lagi sampan sampan kecil kecil. Ada orang Bugis serta Bugis juak juaknya ada kira kira seribu dan ada kepala juak juaknya yang empat puluh itu dua orang, pertama Indera Guru La Malu namanya, kedua Indera Guru To Jerpak namanya."
Dipendekkan cerita, berlaku peperangan besar di antara Opu-Opu Daeng Lima Bersaudara dengan Raja Kechil di Riau. Bunyi bedilan dari meriam-meriam bersahut-sahutan di antara kedua-dua pihak, terlalu gegak-gempita bunyinya. Para pahlawan Bugis menaiki sampan dengan segala pemuras dan terakol mereka, merapati dan menyerang perahu-perahu perajurit Minangkabau dan pengikut-pengikut Raja Kechil. Tentangan yang kuat dari pihak Bugis telah menyebabkan Raja Kechil dan pengikutnya berundur ke Pulau Bayan.
Opu Daeng Marewah sebagai komander tertinggi tentera ketika itu kemudiannya membahagikan tenteranya kepada dua bahagian, di mana satu bahagian ditugaskan berkubu di Tanjung Pinang dan membedil kubu Raja Kechil di Pulau Bayan manakala satu bahagian tentera lagi ditugaskan berdayung sampan ke hulu Riau dan menyerang sampan-sampan milik pengikut Raja Kechil di Pulau Bayan. Strategi ini berjaya menjadikan pasukan Raja Kechil kucar kacir lalu meninggalkan kubu Pulau Bayan untuk menyelamatkan sampan-sampan mereka sehingga memberi peluang kepada satu lagi bahagian tentera Bugis yang berkawal di Tanjung Pinang untuk menyerang Pulau Bayan.
Raja Kechil akhirnya cuba berundur pergi ke Pulau Penyengat tetapi dapat dipintas oleh perahu-perahu tentera Bugis. Dari situ, baginda kemudiannya sekali lagi berundur menuju ke pulau Lingga ketika itu hujan lebat dan pada masa itulah, tentera Bugis di bawah opu-opu tersebut berjaya memenangi pertempuran pertama mereka menentang Raja Kechil. Adapun peristiwa itu berlaku pada tahun 1721 Masihi (sanat hijrah 1134).
Setelah daripada peristiwa itu, Opu Daeng Marewah pergi ke Selangor dan Langat untuk mendapatkan kerjasama daripada pedagang-pedagang Bugis yang banyak menetap di sana sebelum ketibaan Opu-Opu itu lagi. Di situ juga, Opu Daeng Marewah mempertingkatkan kelengkapan perangnya sebanyak tiga puluh ghurab lengkap dengan meriam-meriam.
Namun ketika anak-anak raja Bugis tersebut berada di Selangor, telah berlaku satu peristiwa di wilayah Linggi yang ketika itu dikuasai oleh Raja Kechil. Nelayan-nelayan Bugis yang menetap serta memasang belat menangkap ikan di sana telah dianianyai oleh penghulu Linggi, yang merupakan pengikut Raja Kechil. Belat-belat yang dipasang oleh nelayan-nelayan Bugis tersebut dipotong lalu diserahkan kepada Opu Daeng Marewah dan adik beradiknya.
Opu Daeng Marewah yang marah dengan tindakan penghulu Linggi segera memperlengkapkan angkatan tentera untuk melanggar Linggi tetapi penghulu tersebut meminta supaya pihaknya dapat memanggil Raja Kechil ke mari dahulu.
Raja Kechil juga mengumpulkan tenteranya lalu berperang dengan tentera Opu Daeng Marewah. Opu Daeng Marewah mengarahkan kumpulan tentera berperahunya untuk berundur secara beransur-ansur hingga diikuti oleh tentera berperahu Raja Kechil dan apabila tiba di tempat kapal-kapal besar Bugis terletak, mereka akan bersembunyi di belakang kapal-kapal besar tersebut dan kapal-kapal besar itu yang akan membedil tentera berperahu Raja Kechil.
Opu Daeng Marewah telah membahagikan tiga puluh buah ghurabnya kepada dua kumpulan, di mana kumpulan pertama dua puluh ghurab berperang dengan Raja Kechil kemudian berundur ke kuala, seolah-olah seperti tewas. Sementara kumpulan kedua dengan sepuluh buah ghurab juga dibahagikan kepada dua bahagian. Bahagian pertama sebanyak enam buah ghurab akan menyerang serta menakluk kubu Penghulu Linggi di darat manakala empat buah lagi diarahkan tunggu sehingga waktu malam.
Ketika Raja Kechil sedang menuju ke kuala, kenaikan baginda telah diserang oleh sepuluh buah ghurab tadi dari belakang. Raja Kechil kemudian berundur menuju ke kubunya di darat namun kubu yang telah lama ditawan oleh tentera Bugis tersebut, membedil pula kenaikan Raja Kechil dan baginda menyangka bahawa penghulu Linggi sudah belot kepadanya. Raja Kechil kemudian terpaksa berundur ke Siak dan membina kubu di Buantan.
Kemenangan di Linggi memberi peluang kepada Tengku Sulaiman dan opu-opu Bugis tersebut untuk menakluk Riau daripada kekuasaan Raja Kechil. Oleh sebab itu kononnya muncul satu pantun yang diperbuat oleh orang Riau selepas perang ini ;
Terketai ketai anak sembilang,
Budak merayau dengan galah;
Raja Kecik silakan pulang,
Linggi diserang Riau yang alah.
Persediaan dibuat untuk menabalkan Tengku Sulaiman sebagai sultan Johor namun alat kebesaran diraja yang amat diperlukan dalam pertabalan seorang sultan pada masa itu berada di tangan Raja Kechil yang berada di Siak. Opu-opu lima bersaudara tersebut ditugaskan untuk mengambil kembali alat kebesaran diraja tersebut daripada Raja Kechil. Apabila Raja Kechil enggan menyerahkannya, Opu Daeng Marewah mengarahkan tenteranya menyerang Buantan. Pertempuran sengit berlaku dan orang Bugis yang menetap di Siak ketika itu berpihak kepada opu-opu lima bersaudara tersebut. Raja Kechil berundur ke hulu dan di satu tempat bernama Simpalan, Raja Kechil menyerah kalah dan memberi alat kebesaran diraja tersebut kepada opu-opu lima bersaudara tersebut.
Tengku Sulaiman ditabalkan sebagai sultan Johor dengan gelaran Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah dan baginda melantik Opu Daeng Marewah Kelana Jaya Putera sebagai Yang Dipertuan Muda pertama pada tarikh 4 Oktober 1722 Masihi kemudian menikahkan Opu Daeng Chelak dengan saudara baginda yang bernama Tengku Mandak. Opu Daeng Marewah kemudiannya pergi ke Perapat Seratus mengambil salah seorang janda Sultan Mahmud Mangkat Dijulang yang bernama Tun Encik Ayu sebagai isterinya.
Opu Daeng Marewah Kelana Jaya Putera juga terlibat dalam perang saudara yang berlaku di Kedah dan ketika abangnya, Opu Daeng Parani terkorban akibat ditembak meriam,beliau bersama adiknya, Opu Daeng Chelak pergi menyerang kubu Raja Kechil habis-habisan sehingga Raja Kechil terpaksa berundur ke Siak semula.
Sepucuk surat daripada Raja Muda Perak yang bernama Raja Inu diutuskan kepada Yang Dipertuan Muda Opu Daeng Marewah di Riau untuk meminta bantuan supaya dapat menggulingkan pemerintahan Sultan Alauddin Mughayat Shah (1720 -1728), dan pada tahun 1728 itulah, Opu Daeng Marewah dan tenteranya dari Selangor bergerak menuju ke Bernam untuk menyerang pusat pentadbiran Sultan Perak pada masa itu di Geronggong (berhampiran Kampung Gajah kini).
Walaupun Geronggong berjaya ditawan oleh Opu Daeng Marewah, perjanjian damai telah dibuat di antara kedua dua pihak dan pada tahun sama juga, baginda Sultan Alauddin Mughayat Shah mangkat. Raja Inu ditabalkan sebagai Sultan Perak dengan gelaran Sultan Muzaffar Shah III. Baginda Sultan Muzaffar Shah III ini kemudiannya bakal ditentang oleh Raja Mudanya sendiri yang akhirnya mendapatkan bantuan Bugis, sepertimana apa yang baginda berbuat benda yang sama dahulu terhadap sultan sebelumnya. Ini akan diceritakan selepas ini di bawah.
Ketika meletusnya Perang Pinang Sekayuk di Kalimantan,Opu Daeng Marewah sedang membuat rondaan di sekitar jajahan Empayar Johor di Pulau Perca (Sumatera) dan akan menghantar bantuan selepas selesai menjalankan tugasannya itu. Namun ditakdirkan Allah s.w.t, Opu Daeng Marewah menghembuskan nafasnya yang terakhir ketika berada di Pulau Pitung, jenazahnya dibawa balik ke Riau dan akhirnya dimakamkan di Sungai Baharu, Riau pada tanggal 7 Ogos 1728 Masihi. Beliau kemudiannya masyhur dikenali dengan nama Marhum Sungai Baharu di samping gelarannya ketika hidup dahulu iatu Kelana Jaya Putera.
4. OPU DAENG CHELAK
"Syahadan kata sahibul hikayat adapun Opu Daeng Chelak inilah anak raja Bugis yang baik parasnya serta dengan sikapnya dan pahlawan rupanya..."
"Adalah puteranya (Opu Daeng Rilaka) yang lima orang itu baik-baik belaka parasnya, serta dengan sikapnya dan pahlawannya,akan tetapi Opu Daeng Chelak lah yang terlebih sangat baiknya parasnya,memberi ghairat hati perempuan-perempuan memandangnya, demikianlah katanya yang empunya cetera."
Selepas kemangkatan ayahandanya, Opu Daeng Menambun bermimpi melihat kemaluan adiknya, Opu Daeng Chelak menjulur ke laut menjadi naga dan kepalanya menghadap ke arah tanah barat (Semenanjung Tanah Melayu).
Maka menurut ramalan ahli nujum, itu petanda bahawa keturunan Opu Daeng Chelak akan memegang kekuasaan di Semenanjung Tanah Melayu berzaman-zaman lamanya. Oleh sebab itu, kesemua Opu-Opu Lima Bersaudara ini selepas kemangkatan ayahanda mereka,berlayar ke Johor untuk beradu nasib dan mencari kekuasaan di sini.
Opu Daeng Chelak sebagai seorang anak raja yang berani dan gigih serta mempunyai sifat budiman (malah kacak pulak tu) telah menimba pengalaman dengan menyertai banyak peperangan menentang Raja Kechil di bawah telunjuk abang-abangnya. Opu Daeng Chelak dikhabarkan terlibat dalam peperangan menentang Raja Kechil di Riau,Linggi dan Buantan di Siak. Selepas perlantikan abangnya iatu Opu Daeng Marewah sebagai Yang Dipertuan Muda Johor Riau, beliau dikahwinkan dengan adinda Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah yang bernama Tengku Mandak (Tengku Tengah).
Opu Daeng Chelak sekali lagi mengikuti abangnya, Opu Daeng Parani dan Yang Dipertuan Muda Opu Daeng Marewah Kelana Jaya Putera menolong Sultan Kedah menghadapi adiknya yang kali ini dibantu oleh Raja Kechil dari Siak dalam perang saudara yang berlaku di Kuala Kedah pada tahun 1724 Masihi. Dalam pertempuran kali kedua ini, pasukan Raja Kechil tumpas namun Opu Daeng Parani terkorban. Selepas perang tamat dan urusan pemakaman jenazah abang sulung mereka selesai, mereka berdua kembali ke Riau dengan penuh dukacita.
Pada pagi 12 Mei 1725 kira-kira setahun selepas peristiwa Opu Daeng Parani terkorban di Kedah, Raja Kechil dari Siak sekali lagi datang menyerang Riau. Tentera Johor-Riau dan tentera Siak berperang antara satu sama lain setiap hari sekejap berperang, sekejap berhenti. Adalah diceritakan dalam Tuhfat al Nafis apabila Raja Kechil dan Opu Daeng Chelak bertemu antara satu sama lain, mereka akan makan minum sama-sama kemudian balik ke tempat masing-masing.
Perang tamat sekitar bulan Zulhijjah apabila satu perjanjian damai dibuat di antara Raja Kechil dan Sultan Sulaiman. Namun sekitar tahun 1139 Hijri (1726 Masihi), Raja Kechil mungkir janjinya dan bertindak melanggar Riau sekali lagi namun dikalahkan oleh pasukan Bugis di bawah Yang Dipertuan Muda Opu Daeng Marewah dalam masa dua hari sahaja.
Pada masa meletusnya Perang Pinang Sekayuk antara Pangeran Dipati dan Opu Daeng Menambun, berlakulah satu peristiwa besar di dalam kerajaan Johor Riau apabila Opu Daeng Marewah mangkat pada tahun 1728 Masihi ketika sedang meronda untuk memeriksa wilayah kerajaan Johor ketika itu dan dimakamkan di Sungai Baharu. Sultan Sulaiman kemudiannya terus melantik Opu Daeng Chelak sebagai Yamtuan Muda Johor-Riau keturunan Bugis yang kedua.
Tugas pertama Opu Daeng Chelak selepas dilantik sebagai Yamtuan Muda kedua ialah menghantar bantuan ketenteraan untuk menolong abangnya, Opu Daeng Menambun dalam Perang Pinang Sekayuk. Selepas abangnya berjaya memenangi pertempuran tersebut, beliau kembali ke Riau dan menghadapi banyak serangan yang dilancarkan ketika masa pemerintahannya oleh Raja Kechil dari Siak yang kemudiannya disambung semula oleh putera baginda iatu Raja Alam.
Perang di antara Opu Daeng Chelak dan Raja Alam menyaksikan tentera Siak merampas sebuah wangkang pedagang di Kampung Bulang lalu wangkang itu dibuat menjadi "sebuah kota berjalan" namun wangkang tersebut berjaya ditawan dengan mudah oleh tentera Riau pada hari Rabu, 14 Ogos 1737 Masihi dan Raja Alam dan para pengikutnya berundur ke Tanjung Sebadam sehingga akhirnya ke Kuala Riau seterusnya balik ke Siak. Inilah serangan Siak yang terakhir ke atas wilayah Johor-Riau, kemudian berlakunya konflik perebutan takhta Siak di antara putera-putera Raja Kechil iatu Raja Alam dan Raja Mahmud.
Pada 7 September 1740 Masihi, Opu Daeng Chelak berada di Selangor dan mendapat sepucuk surat yang diutus daripada Raja Muhammad Shah (Raja Muda Perak) yang meminta Yang Dipertuan Muda berketurunan Bugis tersebut menolong pihaknya merampas takhta daripada Sultan Muzaffar Shah III (Raja Inu). Opu Daeng Chelak kemudiannya mengumpulkan serta membawa angkatan tentera Bugisnya dari Selangor menuju ke Perak untuk membantu Raja Muda tersebut serta menyambung kembali peranan Opu Daeng Marewah yang pernah terlibat dalam Perang Saudara Perak sebelum itu.
Peperangan terjadi di antara pihak Sultan Muzaffar III dan Raja Muda Muhammad Shah dan setelah beberapa lama, pihak Raja Muda menang dalam pertempuran tersebut dan Sultan Muzaffar III berundur ke Sayong. Opu Daeng Chelak bersama majoriti para pembesar Perak lainnya menyokong dan menabalkan Raja Muda Muhammad sebagai Sultan Perak keempat belas,dengan gelaran Sultan Muhammad Shah (1744 - 1750). Kesultanan Perak pada masa tersebut berpecah kepada dua.
Namun Sultan Muhammad Shah kemudiannya berbaik semula serta menyerahkan kedudukan baginda kepada Sultan Muzaffar III selepas Opu Daeng Chelak pulang ke Riau pada tahun 1745.
Tidak lama kemudian, Yang Dipertuan Muda Opu Daeng Chelak akhirnya mangkat pada 19 Mei 1745 (17 Rabiulakhir 1158 H) setelah memegang jawatan tersebut selama 17 tahun dan beliau digelar sebagai Marhum Mangkat di Kota. Anak saudaranya iatu Opu Daeng Kemboja bin Opu Daeng Parani kemudiannya dilantik sebagai Yang Dipertuan Muda Riau yang ketiga.
Keturunan Opu Daeng Chelak kemudiannya memegang kekuasaan politik yang sangat besar di Semenanjung Tanah Melayu sehinggalah ke hari ini. Opu Daeng Chelak mempunyai dua orang anak lelaki iatu Raja Lumu dan Raja Haji. Sementara Raja Lumu ditabalkan sebagai sultan Selangor pertama pada tahun 1776, adiknya yang bernama Raja Haji dilantik sebagai Yang Dipertuan Muda Riau yang keempat pada tahun 1777 Masihi.
Keturunan Raja Haji bin Opu Daeng Chelak terus menerus memegang jawatan Yang Dipertuan Muda Riau sehinggakan jawatan tersebut menjadi hak kepada keturunannya sahaja bermula daripada Raja Jaafar bin Raja Haji yang dilantik menjadi Yang Dipertuan Muda Riau keenam sehinggalah kepada Raja Muhammad Yusuf al Ahmadi (1858 -1899) sebagai Yang Dipertuan Muda Riau yang kesepuluh (terakhir). Kemudian dunia Melayu dengan rasa sedihnya menyaksikan Kesultanan Riau Lingga akhirnya dimansuhkan oleh Belanda secara rasmi pada tarikh 3 Februari 1911 Masihi.
Tetapi ditakdirkan oleh Allah Yang Maha Kuasa, keturunan Raja Lumu bin Opu Daeng Chelak masih lagi memegang daulah kekuasaan di bumi Melayu sehingga kini. Kesultanan Selangor yang diasaskan oleh Raja Lumu sejak tahun 1776 ini sudah mempunyai 9 orang sultan. Marilah kita berdoa semoga Allah s.w.t memanjangkan umur serta memberi kesejahteraan kepada satu-satunya waris dinasti Opu Daeng Chelak yang masih lagi berdaulat dan memegang tampuk kekuasaan di atas muka bumi ini iatu Sultan Selangor Darul Ehsan, Sultan Sharafuddin Idris Shah.
5. OPU DAENG KEMASI
Anak bongsu daripada kelima lima adik beradik ini, mengikuti jejak langkah abangnya yang bernama Opu Daeng Menambun dalam arena sejarah Kalimantan berbanding ketiga-tiga abangnya yang lain hebat dalam arena sejarah Semenanjung Tanah Melayu dan selat Melaka ketika itu.
Diceritakan Sultan kerajaan Sambas ketika itu iatu Sultan Umar Aqamaddin I (1708 -1732) sangat kagum dengan keberanian dan kegigihan opu-opu Bugis lima beradik tersebut yang berjaya membina prestij tersendiri di bumi Melayu ketika itu. Baginda juga berhasrat untuk menjadikan salah seorang di kalangan mereka sebagai menantunya. Oleh itu,baginda mengutuskan surat kepada opu-opu lima beradik tersebut di Johor tentang permintaan baginda.
Opu-opu tersebut berbincang sesama mereka tentang permintaan baginda Sultan Sambas tersebut. Keempat empat mereka sudah mempunyai ketetapan dan rumah tangga sendiri melainkan Opu Daeng Kemasi yang masih belum ada ketetapan baginya. Oleh sebab itu, Opu Daeng Kemasi dipilih untuk datang ke Sambas memenuhi jemputan dari sultannya diiringi oleh abangnya, Opu Daeng Menambun yang kebetulan pula hendak pulang semula ke Matan.
Setibanya di Sambas,baginda Sultan Umar Aqamaddin I sangat gembira dengan kedatangan Opu Daeng Kemasi lalu menikahkannya dengan Raden Tengah yang merupakan saudara perempuan kepada baginda sultan sendiri. Beliau digelar sebagai Pangeran Mangkubumi dan ditugaskan untuk memerintahkan segala jajahan takluk Sambas di bawah baginda.
Opu Daeng Kemasi turut membantu abangnya, Opu Daeng Menambun ketika meletusnya Perang Pinang Sekayuk pada tahun 1728 Masihi itu.
Begitulah penulis ceritakan serba sedikit tentang legenda lima putera Bugis bersaudara ini yang pernah menggegarkan dunia Melayu sekitar 300 tahun yang lampau.Dari pemerhatian penulis dan tidak mustahil pandangan dari para pembaca juga, bahawa Opu-Opu lima bersaudara ini tidak mungkin boleh mengukir nama yang hebat dalam sejarah Nusantara ini bersama-sama, jika wujud sifat sifat seperti dengki dan terlalu mementingkan diri sendiri (bersifat egois) dalam diri mereka.
Sejarah telah membuktikan bahawa Opu-Opu Daeng Lima bersaudara ini dapat mencapai pengaruh politik yang besar di Nusantara, dengan semangat kekeluargaan yang kukuh dan saling bantu membantu apabila salah seorang di kalangan mereka ditimpa masalah. Dalam membuat satu keputusan, mereka akan berbincang sesama mereka dan mencapai persetujuan dan kesepakatan dalam sesuatu perkara, bukannya mengambil tindakan sendiri secara melulu. Kelima-lima mereka saling memerlukan dan melengkapkan antara satu sama lain dan itulah peranan adik beradik dalam sesuatu keluarga yang harmoni. Sehingga kini, nama mereka masih mekar dan mewangi dalam sejarah Nusantara berkat daripada ikatan kekeluargaan yang kuat sesama mereka di dalam satu familia di samping sifat keberanian, kegigihan serta kebijaksanaan mereka.
#tokohmelayuagung
-RAD-
RUJUKAN :
1. Raja Ali Haji (dikaji oleh Virginia Matheson Hooker), Tuhfat Al Nafis,Yayasan Karyawan dan Dewan Bahasa dan Pustaka, 1998
2. Raja Ali Haji (dikaji oleh Arena Wati), Salasilah Melayu dan Bugis, Pustaka Antara Kuala Lumpur, 1973
3. Leonard Y. Andaya, Leaves of The Same Tree : Trade and Ethnicity in The Straits of Melaka, University of Hawaii Press Honolulu, 2008
4. Tan Ding Eing (diterjemahkan oleh Shahabuddin Shafie), Sejarah Malaysia dan Singapura, Fajar Bakti Sdn. Bhd. Petaling Jaya, 1983
5. Hikayat Opu Daeng Menambun
6. Abdullah Zakaria Ghazali, Johor dan Kepulauan Riau : Berlainan Negara Tetap Bersaudara (PDF)
Posting Komentar untuk "LEGASI LIMA ORANG PUTERA MELAYU BUGIS BERSAUDARA ( The Legacy of The Five Famous Buginese Malays Royal Siblings ) "